Mengupas 5 pilar hukum pajak: asas, fungsi, kedudukan, sumber, dan jenis. Kunci memahami hak, kewajiban, dan sanksi fiskal.
Hukum Pajak adalah cabang hukum publik yang mengatur hubungan antara Pemerintah (sebagai pemungut pajak) dan Wajib Pajak (sebagai pembayar). Bagi profesional di **Tax Media**, memahami fondasi hukum pajak adalah esensial, sebab aturan ini adalah jantung dari penerimaan negara dan instrumen penting kebijakan fiskal. Kepatuhan pajak yang efektif tidak hanya bergantung pada penghitungan yang benar, tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang hak, kewajiban, dan sanksi yang diatur oleh undang-undang. Artikel *evergreen* ini akan membedah lima pilar utama dalam hukum pajak Indonesia, menjelaskan bagaimana kerangka ini memastikan keadilan, kepastian, dan kelangsungan pembiayaan negara.
Pilar I: Asas-Asas Hukum Pajak
Asas-asas ini adalah prinsip dasar yang menjadi landasan filosofis dan operasional seluruh sistem perpajakan di Indonesia, memastikan pemungutan pajak dilakukan secara adil dan berkepastian.
Asas Keadilan dan Kepastian
Asas Keadilan mengacu pada kesetaraan beban pajak (*horizontal equity*) dan kemampuan membayar (*ability to pay* atau *vertical equity*). Pemungutan pajak harus proporsional sesuai dengan penghasilan atau kekayaan. Sementara itu, Asas Kepastian Hukum menuntut agar undang-undang pajak harus jelas, tegas, dan tidak menimbulkan keraguan, meliputi subjek, objek, tarif, dan prosedur perpajakan.
Asas Kemanfaatan (Efficiency)
Asas Kemanfaatan (atau *Asas Efisiensi*) yang dikemukakan oleh Adam Smith, menyatakan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh melebihi penerimaan pajak itu sendiri. Sistem pajak harus mudah dikelola baik bagi otoritas pajak maupun Wajib Pajak, meminimalisir biaya kepatuhan (*compliance cost*).
Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Selain asas-asas universal di atas, Indonesia juga menerapkan asas teritorialitas, di mana pajak dikenakan atas objek yang berada di wilayah Indonesia atau atas Wajib Pajak yang berdomisili di Indonesia. Pemahaman atas asas ini sangat penting dalam konteks pajak internasional dan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Asas *Lex Superior Derogat Legi Inferiori* (aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah) juga berlaku, memastikan bahwa undang-undang pajak (UU) lebih kuat dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Dalam praktik, asas keadilan diwujudkan melalui sistem tarif progresif untuk Pajak Penghasilan (PPh) dan pembebasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Asas-asas ini adalah barometer etika bagi setiap tindakan fiskal yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) maupun Mahkamah Agung (MA) dalam memutuskan sengketa pajak.
Pilar II: Fungsi Utama Pajak
Pajak memiliki dua fungsi primer yang tak terpisahkan: fungsi penghimpun dana negara dan fungsi pengendali atau pengatur kegiatan ekonomi.
Fungsi Budgetair (Finansial)
Fungsi Budgetair adalah fungsi utama pajak sebagai sumber utama penerimaan negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan. Pajak adalah komponen terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tanpa fungsi ini, negara tidak dapat membiayai fasilitas publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan keamanan.
Fungsi Regulerend (Pengatur)
Fungsi Regulerend (atau *Fungsi Pengatur*) adalah penggunaan pajak sebagai instrumen untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial, atau politik tertentu. Contohnya adalah pemberian insentif pajak (seperti *tax holiday* atau *super deduction*) untuk mendorong investasi di sektor tertentu, atau pengenaan tarif cukai yang tinggi untuk membatasi konsumsi barang berbahaya.
Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Selain dua fungsi inti tersebut, pajak juga memiliki fungsi tambahan, yaitu fungsi pemerataan pendapatan. Melalui fungsi ini, pajak yang bersifat progresif dan subsidi silang digunakan untuk mengurangi kesenjangan ekonomi. Fungsi regulerend sangat dinamis dan sering berubah sesuai kebutuhan kebijakan fiskal negara. Misalnya, pada masa pandemi, pajak digunakan untuk memberikan stimulus ekonomi melalui berbagai keringanan dan insentif. Sebaliknya, saat ekonomi terlalu panas (inflasi tinggi), pajak dapat digunakan untuk mengerem konsumsi. Penting untuk dicatat bahwa dalam fungsi budgetair, penerimaan pajak bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dan tidak ada imbalan langsung (kontraprestasi) yang dirasakan Wajib Pajak, membedakannya dari retribusi. Keseimbangan antara kedua fungsi ini—mengumpulkan uang (Budgetair) sambil memandu perilaku (Regulerend)—adalah seni dari kebijakan fiskal yang efektif.
Pilar III: Kedudukan Hukum Pajak
Hukum pajak adalah bagian dari hukum publik dan terbagi lagi menjadi dua sub-bagian utama yang mengatur aspek materiil dan formal dari perpajakan.
Hukum Pajak Materiel
Hukum Pajak Materiel mengatur substansi pajak itu sendiri. Ini mencakup siapa yang dikenakan pajak (Subjek Pajak), atas apa pajak dikenakan (Objek Pajak), berapa jumlahnya (Tarif), dan kapan timbulnya utang pajak. Contoh UU yang mengatur Hukum Pajak Materiel adalah UU PPh (Pajak Penghasilan) dan UU PPN (Pajak Pertambahan Nilai).
Hukum Pajak Formal
Hukum Pajak Formal mengatur prosedur yang harus diikuti untuk melaksanakan hukum materiil. Ini meliputi prosedur penetapan pajak, tata cara pelaporan (SPT), pemeriksaan, penagihan, sanksi, keberatan, banding, dan gugatan. Contoh UU yang mengatur Hukum Pajak Formal adalah UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).
Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Kedudukan Hukum Pajak di bawah Hukum Publik mencerminkan sifatnya yang memaksa dan mengatur hubungan vertikal antara negara dan individu. Hukum Pajak Formal sangat vital bagi Wajib Pajak karena ia mengatur hak-hak prosedural yang dapat digunakan untuk melindungi diri dari tindakan otoritas pajak. Misalnya, hak Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan dan banding diatur sepenuhnya dalam UU KUP. Tanpa pemahaman yang baik tentang aspek Formal, Wajib Pajak dapat kehilangan haknya, meskipun secara materiil mereka merasa tidak berutang pajak. Perbedaan antara kedua hukum ini juga menjelaskan mengapa sengketa pajak dapat terjadi, yaitu karena perbedaan penafsiran atas hukum materiil atau ketidaksesuaian prosedur yang diatur dalam hukum formal. Oleh karena itu, profesional pajak harus menguasai secara seimbang baik substansi pajak (Materiel) maupun proses administratif (Formal) untuk memberikan nasihat yang komprehensif.
Pilar IV: Sumber Hukum Pajak
Sumber hukum pajak adalah tempat kita menemukan aturan-aturan yang mengikat dalam perpajakan, di mana peraturan perundang-undangan menjadi sumber utama.
Hierarki Peraturan Pajak
Sumber hukum pajak di Indonesia mengikuti hierarki peraturan perundang-undangan. Paling atas adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, di mana Pasal 23A secara tegas menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Kemudian diikuti oleh Undang-Undang (UU) (seperti UU PPh, UU PPN, UU KUP), **Peraturan Pemerintah (PP)**, dan seterusnya hingga **Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER)**.
Sumber Hukum Lain
Selain peraturan tertulis, ada sumber hukum tidak tertulis seperti **Yurisprudensi** (putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang menjadi preseden) dan **Doktrin** (pendapat para ahli hukum pajak). Meskipun tidak mengikat layaknya UU, yurisprudensi sangat penting, terutama dalam konteks sengketa pajak di Pengadilan Pajak, karena sering digunakan sebagai pertimbangan hukum.
Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Memahami hierarki sumber hukum sangat penting karena dalam praktiknya, banyak detail teknis diatur dalam peraturan pelaksana (PP, PMK, PER). Namun, peraturan pelaksana ini tidak boleh bertentangan dengan UU yang menjadi dasarnya. Jika terjadi konflik, UU yang berlaku. Prinsip *non-retroaktif* (aturan tidak berlaku surut) juga merupakan salah satu asas yang diambil dari sumber hukum umum, menjamin kepastian bagi Wajib Pajak. Dalam era digital, surat penegasan dan Surat Edaran (SE) dari DJP sering kali menjadi panduan praktis, meskipun secara hierarki, SE tidak dapat mengubah UU. Oleh karena itu, profesional pajak harus secara rutin memantau pembaruan regulasi di semua tingkatan, mulai dari UU yang mengatur perubahan tarif besar hingga PER yang mengatur prosedur administrasi harian.
Pilar V: Klasifikasi Jenis Pajak
Pajak dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria, namun klasifikasi utama adalah berdasarkan lembaga pemungut dan sifatnya.
Pajak Pusat dan Pajak Daerah
Berdasarkan lembaga pemungut: Pajak Pusat (dipungut oleh DJP) meliputi PPh, PPN, PPN & PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah), PBB Sektor P3 (Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan), dan Bea Meterai. Pajak Daerah (dipungut oleh Pemerintah Daerah) meliputi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Hotel dan Restoran (PHR), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Pedesaan dan Perkotaan.
Pajak Langsung dan Tak Langsung
Berdasarkan sifat: Pajak Langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dialihkan ke pihak lain (misalnya PPh). Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain, biasanya melalui harga jual (misalnya PPN), di mana pedagang menyetor, namun konsumen yang menanggung beban ekonomisnya.
Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Klasifikasi pajak ini membantu memahami alokasi pendapatan negara dan siapa yang secara riil menanggung beban pajak. Pajak langsung bertujuan untuk mencapai keadilan vertikal dan berfungsi sebagai alat pemerataan yang kuat. Sebaliknya, Pajak Tidak Langsung (PPN) bersifat regresif—semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar persentase pendapatan yang mereka habiskan untuk PPN. Oleh karena itu, kebijakan pajak harus dirancang untuk menyeimbangkan kedua jenis ini. Dalam era otonomi daerah, batas-batas antara Pajak Pusat dan Daerah diatur ketat dalam UU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Ketentuan ini penting agar tidak terjadi tumpang tindih pemungutan pajak (*double taxation*) antara pusat dan daerah, menjamin kepastian investasi dan berusaha di seluruh wilayah Indonesia.
Sumber dan Referensi Hukum
Artikel ini merujuk pada undang-undang dan peraturan perpajakan di Indonesia:
- Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 (dan perubahannya) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
- UU Nomor 7 Tahun 1983 (dan perubahannya) tentang Pajak Penghasilan (PPh).
- UU Nomor 8 Tahun 1983 (dan perubahannya) tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
- UU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD): Mengatur pembagian dan jenis Pajak Daerah.
- Doktrin dan Teori Hukum Pajak: Pendapat Prof. Rochmat Soemitro dan para ahli hukum pajak Indonesia lainnya.
Credit :
Penulis : Brylian Wahana
Komentar