$type=grid$count=3$cate=0$rm=0$sn=0$au=0$cm=0 $show=home

PPh Badan: 5 Pilar Wajib Pajak Badan di Indonesia

BAGIKAN:

Bedah 5 pilar PPh Badan: Jenis, tarif, objek, dan rekonsiliasi fiskal. Kunci kepatuhan perpajakan bagi entitas bisnis di RI.

Dalam sistem perpajakan Indonesia, entitas bisnis diklasifikasikan sebagai Wajib Pajak Badan. Kategori ini mencakup sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan satu kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak. Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah salah satu kewajiban fiskal paling kompleks dan signifikan yang harus dipenuhi oleh perusahaan, mulai dari Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, hingga Yayasan. Bagi profesional di Tax Media, pemahaman mendalam tentang PPh Badan adalah fondasi untuk memastikan kepatuhan hukum dan efisiensi keuangan perusahaan. Artikel *evergreen* ini akan membedah lima pilar utama yang mendefinisikan dan mengatur kewajiban Wajib Pajak Badan di Indonesia, mulai dari definisi, perbedaan dengan Orang Pribadi, hingga mekanisme rekonsiliasi fiskal yang wajib dilakukan.

Pilar I: Definisi dan Jenis Badan

Sumber: Ilustrasi Ragam Bentuk Wajib Pajak Badan

Wajib Pajak Badan memiliki definisi yang luas dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. Identifikasi bentuk badan menentukan kewajiban administrasi dan seringkali perlakuan tarif pajak.

Bentuk Badan Subjek Pajak

Menurut UU PPh, yang termasuk Subjek Pajak Badan meliputi: Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV), Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, organisasi massa/sosial politik, dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Setiap entitas ini, setelah memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Badan, wajib menjalankan kewajiban perpajakannya.

Badan Usaha Tetap (BUT)

Bentuk Usaha Tetap (BUT) memiliki perlakuan yang dipersamakan dengan Wajib Pajak Badan dalam negeri, meskipun didirikan oleh subjek pajak luar negeri. BUT merujuk pada tempat usaha yang dipergunakan subjek pajak luar negeri untuk menjalankan usaha di Indonesia, seperti cabang perusahaan, kantor perwakilan, pabrik, atau proyek konstruksi.

Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Perlu dicatat bahwa tidak semua sekumpulan orang/modal menjadi subjek pajak. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria (dibiayai APBN/APBD, penerimaan masuk anggaran pemerintah, dan pembukuan diperiksa aparat pengawasan fungsional) dikecualikan. Pemahaman atas definisi dan jenis badan ini krusial di awal pendirian usaha. Misalnya, PT dan Yayasan memiliki tujuan yang berbeda (profit vs nirlaba), namun keduanya wajib mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak Badan. Selain PPh Badan tahunan, badan usaha juga memiliki kewajiban sebagai pemotong/pemungut pajak, seperti PPh Pasal 21 (gaji karyawan), PPh Pasal 23 (jasa, bunga, sewa), PPh Pasal 4 Ayat (2) Final (sewa tanah/bangunan), dan kewajiban PPN jika telah berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pendaftaran sebagai Wajib Pajak Badan dilakukan secara daring melalui portal DJP, dengan melampirkan dokumen pendirian usaha yang sah.

Pilar II: Beda Badan dan Orang Pribadi

Sumber: Ilustrasi Perbedaan WP Badan dan OP

Meskipun keduanya adalah Wajib Pajak, terdapat perbedaan mendasar dalam tarif, dasar perhitungan, dan mekanisme pelaporan antara Wajib Pajak Orang Pribadi (OP) dan Badan.

Tarif dan Dasar Perhitungan

Wajib Pajak Orang Pribadi (OP) menggunakan tarif progresif yang berlapis (saat ini 5% hingga 35%) dan memiliki Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai pengurang. Sebaliknya, Wajib Pajak Badan (umumnya) menggunakan tarif tunggal (Saat ini 22%) atas Penghasilan Kena Pajak, dan tidak memiliki fasilitas PTKP.

Entitas dan Utang Pajak

Perbedaan paling fundamental adalah Entitas Hukum. Pada badan, utang pajak adalah kewajiban entitas (PT, CV, dll.), terpisah dari pemiliknya. Pada OP, utang pajak adalah kewajiban individu. NPWP Badan dimulai dengan kode 01, 02, atau 03, sementara NPWP OP dimulai dengan 07, 08, atau 09.

Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Pemisahan entitas ini menciptakan fenomena yang disebut *Double Taxation* (Pajak Berganda), di mana laba perusahaan dikenakan PPh Badan, dan ketika laba tersebut dibagikan kepada pemegang saham (sebagai dividen), pemegang saham tersebut (sebagai OP) dikenakan PPh OP lagi. Hal ini menjadi alasan mengapa struktur pembiayaan dan pembagian keuntungan harus diatur secara hati-hati. Dalam hal pelaporan, Wajib Pajak Badan wajib menyelenggarakan pembukuan yang lengkap dan menyajikan Laporan Keuangan Fiskal, yang mencakup rekonsiliasi antara laporan akuntansi komersial dan peraturan perpajakan. Sementara Wajib Pajak OP dapat memilih menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) jika peredaran brutonya tidak melebihi batas tertentu. Kompleksitas administrasi WP Badan jauh lebih tinggi dibandingkan WP OP, menuntut akuntabilitas dan dokumentasi yang lebih detail.

Pilar III: Objek PPh Badan

Sumber: Ilustrasi Beragam Jenis Objek Penghasilan Badan

Objek Pajak Penghasilan Badan mencakup semua tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh badan, baik dari dalam maupun luar negeri.

Seluruh Penghasilan Dunia

Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri (WPDN), yang menjadi objek pajak adalah Seluruh Penghasilan yang diperoleh dari sumber di Indonesia dan dari luar Indonesia (*Worldwide Income Principle*). Ini berbeda dengan subjek pajak luar negeri yang hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber di Indonesia.

Kategori Objek Penghasilan

Objek PPh Badan mencakup laba usaha, keuntungan penjualan aset, bunga, dividen, royalti, sewa, hibah yang bukan objek pajak, dan penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. Peraturan juga membedakan antara Objek Pajak Non-Final (dihitung dalam PPh Tahunan), Objek Pajak Final (PPh 4 Ayat 2), dan Penghasilan Bukan Objek Pajak.

Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Kategori Penghasilan Bukan Objek Pajak sangat penting untuk dipahami. Contohnya termasuk bantuan atau sumbangan yang diterima, sepanjang tidak ada hubungan kepemilikan atau pengendalian antara pemberi dan penerima. Demikian pula, dividen yang diterima oleh Badan Dalam Negeri dari Badan Dalam Negeri lain dikecualikan dari objek pajak, dengan syarat tertentu. Sementara itu, Objek PPh Final, seperti penghasilan dari sewa tanah/bangunan, jasa konstruksi, atau peredaran bruto tertentu (PP 55 Tahun 2022), telah dipotong atau dibayar di muka dan tidak dihitung lagi dalam PPh Tahunan. Pengklasifikasian yang salah atas Objek Pajak ini adalah sumber utama koreksi atau sengketa pajak. Badan usaha wajib memilah setiap transaksi penghasilan untuk menentukan perlakuan perpajakan yang sesuai, terutama dalam konteks transaksi lintas batas dan pengakuan pendapatan yang kompleks.

Pilar IV: Tarif dan Fasilitas PPh

Sumber: Ilustrasi Struktur Tarif PPh Badan

Tarif PPh Badan tidak tunggal; Indonesia menawarkan berbagai fasilitas dan tarif khusus untuk mendorong kepatuhan dan investasi.

Tarif Umum dan Khusus

Berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPh Badan umum adalah 22% sejak Tahun Pajak 2022. Selain itu, Wajib Pajak Badan Dalam Negeri berbentuk Perseroan Terbuka (Tbk.) dapat menikmati penurunan tarif sebesar 3% lebih rendah (menjadi 19%) jika memenuhi persyaratan kepemilikan saham publik minimal 40%.

Fasilitas UMKM (PP 55/2022)

Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran bruto tertentu (UMKM) dapat memanfaatkan tarif final 0,5% dari peredaran bruto (omzet) per bulan, selama memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Fasilitas ini bersifat sederhana dan bertujuan untuk mendorong kepatuhan di sektor usaha kecil dan menengah.

Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Selain tarif PPh final UMKM, terdapat juga fasilitas lain seperti pengurangan tarif 50% dari tarif umum (sehingga menjadi 11% saat ini) bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp 50 miliar dan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Fasilitas ini diberikan untuk mendukung pengembangan perusahaan menengah. Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif pajak non-tarif, seperti *Tax Holiday* (pembebasan PPh Badan selama periode tertentu) dan *Tax Allowance* (pengurangan Penghasilan Neto) untuk investasi di sektor dan kawasan prioritas. Pemanfaatan fasilitas-fasilitas ini memerlukan perencanaan pajak yang cermat dan pemenuhan kriteria yang ketat. Kesalahan dalam menerapkan tarif, terutama antara tarif umum, tarif diskon untuk peredaran bruto kecil, atau tarif final 0,5%, adalah risiko kepatuhan yang harus dihindari oleh Wajib Pajak Badan.

Pilar V: Rekonsiliasi Laporan Fiskal

Sumber: Ilustrasi Proses Rekonsiliasi Fiskal

Pilar ini adalah jantung dari perhitungan PPh Badan. Rekonsiliasi fiskal adalah proses penyesuaian laba komersial menjadi laba fiskal sesuai aturan perpajakan.

Beda Komersial dan Fiskal

Perbedaan mendasar adalah tujuan: Laporan Keuangan Komersial disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) untuk kepentingan umum (investor, kreditur), sementara Laporan Keuangan Fiskal disusun berdasarkan UU Perpajakan untuk menghitung PPh Badan yang terutang.

Koreksi Positif dan Negatif

Rekonsiliasi melibatkan Koreksi Positif (menambah laba fiskal, misalnya: biaya yang tidak boleh dibebankan seperti Natura/kenikmatan) dan Koreksi Negatif (mengurangi laba fiskal, misalnya: penghasilan yang dikenakan PPh Final atau penghasilan bukan objek pajak). Hasil akhir dari rekonsiliasi ini adalah Penghasilan Neto Fiskal yang menjadi dasar perhitungan PPh Badan Tahunan.

Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Koreksi fiskal positif terjadi ketika beban di akuntansi komersial tidak diakui oleh pajak, seperti biaya sanksi pajak, cadangan kerugian piutang (kecuali yang diizinkan), atau biaya *entertainment* tanpa daftar nominatif. Koreksi fiskal negatif sering terjadi karena adanya penghasilan yang telah dikenakan PPh Final (misalnya bunga deposito) atau penghasilan yang dikecualikan (misalnya dividen). Kesalahan dalam menentukan koreksi ini dapat menyebabkan perhitungan PPh Badan yang tidak akurat, berpotensi memicu pemeriksaan dan sanksi. Proses rekonsiliasi fiskal juga mencakup penyesuaian atas perbedaan metode penyusutan dan amortisasi (akuntansi vs pajak) dan pengakuan kerugian. Wajib Pajak Badan harus memastikan bahwa seluruh bukti dan dokumen pendukung (termasuk *working paper* rekonsiliasi) tersedia, terutama ketika berhadapan dengan otoritas pajak, sebab transparansi dan akurasi adalah kunci dalam kepatuhan PPh Badan.


Sumber dan Referensi Badan

Artikel ini merujuk pada undang-undang dan peraturan perpajakan di Indonesia:

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) – Amandemen UU PPh.
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 (dan perubahannya) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang PPh (termasuk tarif UMKM).
  4. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait biaya-biaya yang dapat dibebankan dan fasilitas insentif pajak.
  5. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan prinsip-prinsip akuntansi komersial yang menjadi dasar rekonsiliasi.

Credit :
Penulis : Brylian Wahana
    

Komentar

Nama

badan,20,hukum pajak,79,orang pribadi,33,
ltr
item
TAX Media: PPh Badan: 5 Pilar Wajib Pajak Badan di Indonesia
PPh Badan: 5 Pilar Wajib Pajak Badan di Indonesia
Bedah 5 pilar PPh Badan: Jenis, tarif, objek, dan rekonsiliasi fiskal. Kunci kepatuhan perpajakan bagi entitas bisnis di RI.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgf2Q5EQjzmg3QNonoq84SLvm5L_tCJQJl2MCKFZ6OHMn-mDvyJe5UPx8crtzlTx96-VBCX_IQ7UOjN9qSvj-B2leqHQ1jJ0ndbI1p0u2INoXO4q0y8jE9Xbar_2vwweMdiL8_UdR3eiK7-elqOu0Mg6WeF6zZyuQU2PrN4o_mNNDUx5ocZTh1-NffRtnw/s1600/PPh%20Badan_%205%20Pilar%20Wajib%20Pajak%20Badan%20di%20Indonesia.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgf2Q5EQjzmg3QNonoq84SLvm5L_tCJQJl2MCKFZ6OHMn-mDvyJe5UPx8crtzlTx96-VBCX_IQ7UOjN9qSvj-B2leqHQ1jJ0ndbI1p0u2INoXO4q0y8jE9Xbar_2vwweMdiL8_UdR3eiK7-elqOu0Mg6WeF6zZyuQU2PrN4o_mNNDUx5ocZTh1-NffRtnw/s72-c/PPh%20Badan_%205%20Pilar%20Wajib%20Pajak%20Badan%20di%20Indonesia.jpg
TAX Media
https://www.tax.biz.id/2025/10/pph-badan-5-pilar-wajib-pajak-badan-di.html
https://www.tax.biz.id/
https://www.tax.biz.id/
https://www.tax.biz.id/2025/10/pph-badan-5-pilar-wajib-pajak-badan-di.html
true
2048855994968923480
UTF-8
Tampilkan semua artikel Tidak ditemukan di semua artikel Lihat semua Selengkapnya Balas Batalkan balasan Delete Oleh Beranda HALAMAN ARTIKEL Lihat semua MUNGKIN KAMU SUKA LABEL ARSIP CARI SEMUA ARTIKEL Tidak ditemukan artikel yang anda cari Kembali ke Beranda Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec sekarang 1 menit lalu $$1$$ minutes ago 1 jam lalu $$1$$ hours ago Kemarin $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago lebih dari 5 pekan lalu Fans Follow INI ADALAH KNTEN PREMIUM STEP 1: Bagikan ke sosial media STEP 2: Klik link di sosial mediamu Copy semua code Blok semua code Semua kode telah dicopy di clipboard mu Jika kode/teks tidak bisa dicopy, gunakan tombol CTRL+C Daftar isi