Analisis Subjek & Objek PPh di UU Pajak: Wajib Pajak DN/LN serta ragam penghasilan yang jadi dasar pemajakan di Indonesia.
Mempelajari hukum pajak Indonesia harus dimulai dari fondasi yang kokoh: Pajak Penghasilan (PPh). PPh adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak. Dua pilar utama yang menentukan kewajiban pajak seseorang atau suatu entitas adalah Subjek Pajak (Siapa) dan Objek Pajak (Apa).
Tanpa memahami kedua pilar ini, risiko kesalahan dalam perhitungan, pelaporan, hingga sengketa pajak akan sangat tinggi. Artikel ini akan membedah secara rinci definisi dan kriteria Subjek dan Objek PPh sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pilar Pertama: Subjek Pajak (The Who)
Subjek Pajak adalah pihak yang memenuhi kriteria untuk dikenakan pajak, yang kemudian statusnya berubah menjadi Wajib Pajak (WP) setelah memiliki kewajiban perpajakan yang bersifat formal (seperti memiliki NPWP).
Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP)
WP Orang Pribadi didefinisikan berdasarkan kriteria domisili atau kehadiran fisik di Indonesia:
Kriteria Domisili Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN)
Seseorang ditetapkan sebagai WPDN jika memenuhi salah satu dari kriteria berikut:
- Bertempat tinggal di Indonesia.
- Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
- Dalam satu tahun pajak berniat bertempat tinggal di Indonesia (niat ini dapat dibuktikan melalui dokumen seperti Kartu Izin Tinggal Tetap/Terbatas).
Status WPDN memiliki konsekuensi penghasilan worldwide (penghasilan yang diperoleh dari mana pun di dunia) dikenakan pajak di Indonesia.
Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN)
WPLN adalah individu yang tidak memenuhi kriteria WPDN tetapi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Konsekuensi perpajakannya terbatas pada penghasilan yang bersumber dari Indonesia saja (source principle). Perlakuan pajak WPLN sering kali diatur lebih lanjut melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Wajib Pajak Badan
WP Badan mencakup sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak. Klasifikasinya juga mengikuti prinsip domisili:
Kriteria Wajib Pajak Badan Dalam Negeri
Badan usaha dianggap WPDN jika didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia (misalnya PT, CV, Yayasan yang terdaftar di Indonesia). Sama seperti WP OP Dalam Negeri, seluruh penghasilan yang diperoleh WP Badan Dalam Negeri, baik dari Indonesia maupun luar negeri, dikenakan pajak.
Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Konsep BUT menjadi jembatan antara WP Badan Luar Negeri dan WP Badan Dalam Negeri. BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh WPLN untuk menjalankan kegiatan di Indonesia. Walaupun subjeknya adalah entitas luar negeri, BUT diperlakukan setara dengan WPDN karena adanya kehadiran fisik, dan oleh karenanya dikenakan PPh atas penghasilan yang bersumber dari BUT tersebut.
Pilar Kedua: Objek Pajak (The What)
Objek Pajak adalah setiap penambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan. Pilar ini didasarkan pada konsep Ability to Pay (kemampuan membayar).
Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Secara umum, Objek Pajak dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan mekanisme pengenaannya:
Penghasilan yang Dikenakan PPh Umum (Tarif Berlapis)
Ini adalah penghasilan yang dikenakan PPh menggunakan tarif progresif yang diatur dalam UU PPh. Contohnya meliputi:
- Penghasilan dari Pekerjaan (gaji, honorarium, tunjangan).
- Penghasilan dari Usaha (laba bersih dari kegiatan dagang atau jasa, setelah dikurangi biaya-biaya yang diperbolehkan).
- Penghasilan dari Modal (dividen, bunga, royalti, sewa, keuntungan penjualan aset).
Penghasilan yang Dikenakan PPh Final
Ini adalah jenis penghasilan tertentu yang pengenaan pajaknya bersifat final (sekali potong/bayar) dan tidak lagi digabungkan dengan penghasilan umum saat perhitungan SPT Tahunan. Contoh PPh Final meliputi:
- Penghasilan dari hadiah undian.
- Penghasilan sewa atas tanah dan/atau bangunan.
- Penghasilan dari usaha dengan omzet di bawah batas tertentu (UMKM).
Penghasilan yang Bukan Objek Pajak (BOP)
Penting untuk membedakan Objek Pajak dengan Bukan Objek Pajak (BOP). BOP adalah penambahan kemampuan ekonomis yang dikecualikan dari pengenaan PPh karena alasan sosial, kebijakan ekonomi, atau sudah dikenakan pajak di tingkat lain. Contoh BOP meliputi:
- Bantuan atau Sumbangan (termasuk Zakat dan Hibah, dengan kriteria tertentu).
- Harta Warisan yang sudah dikenakan pajak oleh pewaris.
- Iuran Pensiun yang dibayarkan ke dana pensiun yang disahkan Menteri Keuangan.
- Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu.
- Dividen yang berasal dari Badan Usaha Dalam Negeri, yang ditanamkan kembali (investasi) di Indonesia dengan kriteria tertentu.
Momen Penentuan Pajak: Konsep Taxable Event
Kewajiban perpajakan Subjek dan Objek Pajak timbul pada saat terjadinya suatu peristiwa pajak (Taxable Event). Dalam konteks PPh, peristiwa pajak terjadi ketika:
Kelahiran Kewajiban Subjektif
Kewajiban pajak subyektif WPDN dimulai saat seseorang dilahirkan, berada di Indonesia, atau didirikan.
Kewajiban Objektif
Kewajiban pajak objektif timbul pada saat penghasilan diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Bagi Wajib Pajak Badan, kewajiban ini sangat terkait dengan periode pembukuan (tahun pajak). Penentuan taxable event yang tepat sangat krusial, terutama untuk transaksi modal atau penghasilan yang diterima secara cicilan.
Implikasi Bagi Perusahaan dan Individu
Pemisahan dan definisi yang ketat antara Subjek dan Objek PPh memiliki implikasi besar terhadap kepatuhan:
Bagi Wajib Pajak Badan
Perusahaan wajib memahami bahwa seluruh penghasilan, dari mana pun sumbernya, adalah Objek Pajak, kecuali yang secara tegas diatur sebagai BOP. Keputusan investasi (misalnya, menerima dividen) harus mempertimbangkan status penghasilan tersebut (kena PPh Umum, PPh Final, atau BOP).
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Individu sering kali kesulitan dalam mengklasifikasikan aset atau penghasilan. Misalnya, perbedaan antara Bantuan (BOP) dengan Penghasilan Jasa (Objek PPh) harus jelas. Pemahaman yang keliru atas status WPLN/WPDN juga dapat menyebabkan kesalahan fatal bagi ekspatriat atau WNI yang bekerja di luar negeri (tax residency issues).
Kesimpulan: Konsistensi sebagai Dasar Kepatuhan
Subjek dan Objek Pajak Penghasilan adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. PPh hanya dapat dikenakan jika ada Subjek Pajak yang diatur dan Objek Pajak berupa penambahan kemampuan ekonomis yang diatur oleh undang-undang.
Konsistensi dalam penerapan definisi Subjek (terutama WPDN vs WPLN) dan klasifikasi Objek (PKP Umum, PPh Final, atau BOP) adalah kunci utama bagi kepatuhan pajak yang sehat. Bagi pembaca TaxMedia, penguasaan pilar ini adalah langkah pertama untuk menjadi konsultan atau pembayar pajak yang cerdas dan terhindar dari sanksi.
Credit :
Penulis : Brylian Wahana
Gambar oleh Hamza and Hamza dari Pixabay
Komentar